Mempertahankan Adat Istiadat Tradisional: Suatu Konsepsi Kultural di tengah Globalisasi


gambar 1. Tradisi Grebeg Maulud di Yogyakarta

Perkembangan globalisasi hingga hari ini sudah terlampau pesat. Batas-batas wilayah maupun budaya sudah hampir terhapuskan, tergantikan dengan kepentingan sebagai batas mereka bersosialisasi. Dari organisasi politik seperti ASEAN hingga organisasi perdagangan seperti World Bank, dari jejaring sosial Facebook yang dapat mempertemukan berbagai orang di dunia, hingga aplikasi Instagram yang dapat diakses di seluruh dunia.
     
       Perkembangan globalisasi juga menimbulkan suatu unsur-unsur kebudayaan yang baru, seperti teknologi yang makin berkembang, dari kepulan asap sebagai alat komunikasi hingga ke smartphone. Globalisasi juga semakin melunturkan nilai-nilai kebudayaan yang sudah tidak lagi relevan atau yang biasa disebut dengan istilah ketinggalan zaman.
   
       Berikut juga dengan mempertahankan suatu kebudayaan di era globalisasi ini, sulit nan rumit. Dengan berbagai jenis kebudayaan interaksi dengan kebudayaan-kebudayaan lain, membuat kebudayaan sendiri semakin luntur. Seperti budaya tata krama ala kerajaan di Yogyakarta yang mulai tergeser dengan nilai-nilai demokratis republik ini yang kita pelajari dari barat.

       Untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan lama, perlunya suatu interaksi yang tertutup antar individu dalam suatu komunitas yang berlatar kebudayaan yang sama. Berdasarkan teori fungsional-strukturalis oleh Albert Redcliff Brown, dijelaskan bahwa suatu komunitas masyarakat memiliki jaringan yang kompleks antar anggotanya, dan hal itu terjadi karena proses interaksi maupun internalisasi yang terjadi secara terus menerus. Begitu juga yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi,” masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi satu sama lain serta memliki rasa identitas bersama. Dan dengan adanya rasa identitas bersama itu, dengan ditambah juga dengan rasa loyalitas terhadap adat istiadat sendiri, maka hal itu menimbulkan suatu percikan nilai-nilai patriotisme.

gambar 2. Tradisi Ogoh-ogoh pada Hari Raya Nyepi

       Dalam mempertahankan adat istiadat leluhur di era globalisasi ini, interaksi sosial diantara masyarakat   itu sendiri, merupakan faktor paling dasar yang akan membuat keberlangsungan dari kebudayaan   itu sendiri tetap terjaga. Disusul dengan adat-istiadat seperti perayaan grebek maulid atau maulidan bagi umat muslim di Jawa, yang diekspresikan secara bersama dan berulang, juga membuat regenerasi dari adat istiadat tersebut tetap terjaga.

       Komunikasi antar budaya yang berlangsung terus menerus di era globalisasi ini, berlangsung secara intesif dan saling berkesinambungan, sehingga masyarakat   untuk mempertahankan adat istiadatnya, perlu beradaptasi dengan kebudayaan luar. Proses adaptasi ini selain dapat menimbulkan penerimaan yang baik oleh masyarakat yang kompleks, juga meminimalisir terjadinya gesekan antar budaya seperti konflik Poso, dan konflik Sampit yang berlatar belakang konflik identitas. Dengan proses adaptasi ini, masing-masing kebudayaan saling memanipulasi diri agar akhirnya dapat memahami budaya masing-masing kebudayaan sehingga membuat proses komunikasi antar budaya berjalan mulus tanpa hambatan seperti paha Nabilah JKT48.

       Jadi, proses adaptasi, regenerasi, maupun yang paling penting, internalisasi merupakan proses-proses yang berperan penting dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaan, sehingga masyarakat dari suatu kebudayaan itu sendiri dapat diterima dengan baik oleh masyarakat global yang kompleks, baik nasional maupun internasional.

Komentar