Namaku Andrea Hitahi (sengaja plesetin nama penulis novel Laskar Pelangi), usia 19 tahun, zodiak Aquarius, golongan darah Kotor. Aku tinggal di dalam kenangan mantan. Sekarang aku sedang menempuh kuliah di salah satu universitas di Indonesia. Dalam kisahku kuliah, aku mengenal 2 orang yang menurutku kepribadiannya sangat unik, bahkan saling berbenturan. Namanya Rudi asal Surabaya, yang satu Andi asal Jakarta. Aku mengenal mereka semenjak ospek fakultas dulu hingga kini, ketika kami semua akan beranjak menuju semester 5. Mengapa menurutku mereka berdua unik, karena terdapat hal-hal konyol dalam sifat-sifat mereka masing.
Rudi, asal Surabaya. Dilahirkan dalam keluarga yang religius, namun ia menganggap bahwa agama hanyalah sebuah dogma-dogma belaka. Tapi lucunya dia masih tetap melalukan kegiatan ibadah-ibadahnya, bahkan juga enggan untuk berfoya-foya. Pemikirannya selalu berdasarkan pada logika matematika-yang kubenci dari dulu hingga sekarang. Menurutnya, agama hanyalah seperangkat alat untuk mengatur kepribadian manusia, yang diciptakan oleh manusia. Baginya, agama konsep ketuhanan, malaikat, dan sebagainya hanyalah akal-akalan dari si pendiri agama, semua hanya palsu, sama sekali tidak ada. Waktu itu aku sempat menemuinya di masjid, ketika aku hanya ingin mendapatkan bukber gratis.
"Lah, rud, ngapain lo kesini? Lo doyan takjil gratis juga? Haha.."
"Yoi lah men. Kalo ada yang gratisan gini, siapa sih yang kaga mau? Betewe, lu juga ngapain kesini?" Lebih herannya lagi, Rudi juga memakai seperangkat baju koko lengkap dengan sarung, peci, dan sajadah.
"Ya mau cari buka lah, kaya elo. Sekalian sih kalo nemu sendal yang bagus."
"Maksud gua, ngapain lo ke tempat sholat cewek, biji kuda.."
"Oh iya, gara-gara elo sih, gue sampe nyasar kemari."
"Dih, tolo!"
Benar juga, kenapa aku ke tempat sholat wanita? Apakah karena terlalu lama menjomblo?
"Eh, betewe, gue serius nih. Gue perhatiin, sholat lo teratur juga yah, kaya lalu lintas Jakarta pas CFD. Lo mulai sholat?" Kami kembali ke tempat sholat pria, kemudian duduk samping muadzin yang sedang bekerja. Memegangi mic supaya baik adzannya, hei! *jangan diterusin nyanyinya!
"Ngapain lu stalkerin gua. Jadi merinding gua temenan ama elu. Udah nyasar ke tempat sholat cewek, stalkerin gua lagi. Hii..."
"Gue masih waras, nyet! Cuman Ika aja yang nolak-nolak gue terus," trust me, it's only a joke :)
"Haha, canda. Iya sih, gua ngakuin kalo sering sholat. Tapi emang dari dulu gua kaya gitu. Toh, walaupun otak gua masih lebih waras daripada onta-onta dongo yang ikut demo buat jatuhin Ahok kemarin, gua mikirnya kalo dengan begini idup gua jadi lebih seimbang. Sisi spiritual gua jadi idup. Aristoteles aja bilangnya kalo manusia itu harus menyeimbangkan pola hidupnya agar hidupnya bisa bahagia,"
"Hsst.. Wait, wait. Pertama, gua ga kenal siapa itu Aristoteles. Kedua, gua ga tau apa-apa soal demo itu. Ketiga ini muadzin udah mulai iqomah, kita jangan duduk doang." Kami yang awalnya duduk-duduk samping muadzin yang sedang bekerja tadi, tepatnya di shaf paling depan, dilempar omelan oleh takmir masjid agar segera berdiri. Beruntung kami bukan dilempar molotov.
Setelah sholat maghrib berjamaah, kami melanjutkan obrolan kami di teras masjid, tidak di samping muadzin lagi.
"Oke, gimana pertanyaan gua yang tadi? Udah ada jawaban?"
"Jadi, Pertama, Aristoteles adalah sepotong, eh salah.. Adalah seorang filsuf yang berasal dari Yunani. Gue ga tau dia lahir kapan dan dimananya karena gue bukan bidannya. Aristoteles merupakan filsuf alam, menjadi guru Alexander the Great. Namun, Aristotle's juga merupakan murid dari Plato."
"Wait, walaupun gua ga tau siapa itu Alexander the Great, yang jelas Plato itu mantan planet yang kesembilan itu kan?"
"Jangan becanda dong! Lagi serius nih gue! Gue lempar nasi kotak juga lo!" Serius, di tangan kanannya sudah ada nasi kotak. Namun, hanya karena ia belum makan nasi selama seharian ini, ia mengurungkan niatnya untuk melemparku dengan itu.
"Jadi, Aristoteles juga biasa disebut filsuf alam terakhir, karena filsuf-filsuf Yunani setelah dia tidak lagi membahas alam lagi. Bidang kajian Aristoteles adalah politik, seni, social, dan lain-lain. Tapi semua ilmu-ilmu itu berakar dari ilmu-ilmu alam yang ia pelajari dari gurunya, Plato. Menurutnya, alam terjadi karena keseimbangan dari dua hal yang saling berlawanan. Materi dan anti materi. Siang dan malam. Kaya dan miskin. Laki-laki dan perempuan. Aku dan kamu." Rudi mengedipkan matanya sejenak.
"Namun, semua hal itu kembali kepada satu hal mutlak, yang menurutnya penyeimbang antara keberlangsungan dua hal yang saling bertentangan itu tadi. Aristoteles menyebutnya 'Tuhan' atau bahasa Inggrisnya 'God'"
"Rud, iya sih gua tau kalo lu ama gua sama-sama jomblo. Tapi plis, jangan ngomong 'Aku dan kamu'nya pake sok ngegombalin gua dong. Jones ya jones, jangan jadi hombreng dong! Geli gua, hidih.."
"Hilih, kan gue canda nyet. Haha... Jadi, kenapa walaupun menurut gue agama itu cuman dogma, tapi gue masih tetap sholat, mengaji, membantu orang tua, rajin menabung, dan sebagainya? Itu karena gue berusaha menyeimbangkan IQ, EQ, dan SQ gua sendiri. IQ gue, ga perlu kasih tau kali ya. EQ gue, lo pasti udah tau gua orangnya kaya gimana. SQ gue, ya ini. Sholat ini yang ngebangun sisi spiritual gue."
"Oh, jadi lu pengen mencoba untuk menyeimbangkan IQ dan EQ lu make SQ lu gitu? Terus lu ngapain koar-koar kalo agama itu cuman sekedar dogma?"
"Bisa jadi seperti itu. Nah, ini nih, pertanyaan yang udah gue tunggu semenjak 20 tahun yang lalu, ya maksud gue baru kali ini ada yang nanya gitu ke gue seumur-umur."
"Untung nih sendal bagus, kaga jadi buat nampar lu!" Sabar, sabar. Ini ujian. Ujian puasa berstandar nasional Indonesia.
"Ya menurut gue, itu karena emang mereka sama sekali ga nyeimbangin IQ dan EQ mereka, sehingga apabila disulut dikit, langsung jadi. Orang-orang alim yang katanya agamais lah, relijius lah, mereka tidak menyeimbangkan IQ dan EQ mereka. Mereka cuman fokus pada sisi agama mereka doang, tanpa memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Contoh nih, ada orang kaya yang terobsesi buat naek haji, sampe akhirnya lupa kalo tetangga dan saudaranya yang lain masih serba kekurangan. Terus juga, ada juga orang yang udah tau dapurnya kebakaran, masih aja nerusin sholat sunahnya. Maksud gue, ya mending lo matiin dulu kek itu kebakaran, ato panggil pemadam kebakaran gitu.. Urusan kebakaran kelar, baru lo terusin sholat sunah lo. Mereka terbuai oleh sejenis tipuan berupa pahala yang besar, atau apa lah itu, sampe akhirnya mereka ga peka terhadap kondisi lingkungan mereka sendiri."
Rudi menjelaskan ceritanya secara panjang lebar. Ia ternyata memiliki alasan kuat dibalik kesehariannya yang ia jalani ini. Saking kuatnya, sampai-sampai dia harus memegangi perutnya, dan bau kentut yang semerbak pun tercium olehku.
"Anjing! Kentut dimana kek lu! Oh iya, terus pertanyaan kedua gua gimana? Yang soal demo itu, gua ga tau apa-apa soalnya"
"Hehe.. Sorry, sorry, auto pilot yang tadi. Nah, kalo lo mau cari tau tentang demo itu, cari tau aja di Google. Banyak beritanya kok. Gue mau boker nih, pulang duluan aja lo sono, bye!" Rudi berlari ke arah toilet, meninggalkan nasi kotaknya di teras masjid, di tempat duduk kami.
"Oy, nasi lu nih oy!! Gimana??! Gua bawa kali ya??! Sedekah termasuk SQ juga lho.." Rudi berbalik ke arahku, tidak rela nasinya menjadi milikku.
"Pala lo sini gue pencet. Sedekah sih sedekah, gue masih laper. Takjil aja tadi gua ga kebagian! Dah, balik aja sono!" Dan aku pun kembali ke asrama, browsing tentang demo penurunan Ahok dan tentang Aristoteles.
Yah, begitulah salah satu cuplikan eksklusif wawancaraku dengan Rudi si kampret dari Surabaya. Dalam kehidupan beragamanya, ia lebih menekankan diri bahwa agama adalah suatu pencarian spiritualitas, yang mana dengan menjaga unsur-unsur seperti IQ, EQ, dan SQ, ia akan hidup dengan tenang, karena merasa bahwa hidupnya telah seimbang. Sampai akhirnya sekarang dia telah memiliki pacar. *terus gw kapan?? :(
***
Kemudian Andi, asal Jakarta. Tumbuh dan besar di lingkungan yang sama-sama kota besarnya dengan Rudi. Bedanya, pemikirannya sama sekali bertolak belakang dengan Rudi. Lahir dalam background keluarga yang kurang religius, membuat dirinya sangat-sangat kurang akan pemahaman agama. Ia pun juga didukung oleh lingkungan pergaulannya yang sangat amat luas, sampai ia pun bertemu dengan kehidupan underground. Minum, main cewek, dan sebagainya ia sudah melakukan semuanya. Namun yang membuatku kaget, mengapa ia sekarang sudah menjelma seperti ustadz? Metamorfosis kah? Atau sekedar pencitraan?
Memang sih, sempat juga aku minum bersama Andi. Namun, akhir-akhir ini kulihat terjadi perubahan drastis dalam kehidupannya. Ia tak lagi minum-minuman keras selain es batu, tak lagi membawa seorang gadis ke kamarnya di asrama, hingga akhirnya sering juga dia ke masjid. Waktu itu aku bertemu dengannya seusai sholat Tarawih. Aku masih menyimpan kata-katanya yang seketika membuat kepalaku terasa seperti Kuyang, menjadi makin terbuka lebar hingga terasa lepas dari badan. Baginya, apa yang ia jalani selama hidupnya ini adalah bentuk keyakinannya terhadap Tuhan. Tuhan telah menggariskan alur kehidupan tiap-tiap mahluk ciptaannya, dari masih berupa gumpalan daging seperti bakso, hingga nyawa sudah tidak lagi berada di badan. Ia bahkan sangat berterima kasih terhadap Tuhan atas kehidupannya dulu saat masih berada dalam kegelapan. Menurutnya, jika Tuhan tidak menggariskan hal itu terjadi, mana ia sendiri pun juga tidak akan mengetahui mana yang baik atau yang buruk secara pasti.
"Ndi, udah tobat lo sekarang? Perasaan puasa tahun lalu lo masih kuat deh mabok sampe anak-anak sahur?" Waktu itu aku bertemu dengan Andi di halte sebelah masjid. Raut wajahnya seperti hidup tanpa beban yang berarti. Kecuali beban biaya UKT yang semakin naik dan beban galon yang ia bawa naik turun dari kamarnya ke tempat isi ulang.
"Haha.. Alhamdulillah lah, sekarang kalo menurut lo gue udah jadi lebih baik. Iya sih dulu gue mengakui kalo emang gue udah biasa idup di gelap-gelapan. Sekarang semuanya udah terang. Listrik udah ngalir dimana-mana, internet bisa diakses siapa aja. Haha.."
"Ndi, gue ga pernah bilang kalo lo jadi lebih baik deh. Justru mending lu dateng ke psikiater ato dukun terdekat kek gitu, kali aja lo bisa sembuh."
"Daripada gitu, mending ngopi kita, lebih deket lagi malah."
"Mau ngopi kemana kita hari ini? Katakan peta! Katakan peta!"
"Kamar gue aja lah, haha. Aman kok, gue udah ga nyimpen yang aneh-aneh lagi. Kuy," Pas sekali. Ketika Andi mengatakan itu, kami sudah sampai di depan kamar Andi. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau karena basa-basi kami yang memang lama? Atau sebuah konspirasi Wahyudi Mamarika Zionis untuk menguasai dunia?
"Jadi, lo sekarang gimana ndi? Enakan ato gimana dari kehidupan lo yang sebelumnya?"
"Ya mana enak lah ndre. Kehidupan mah mana bisa dimakan."
"Ndi, ini kopi masih panas loh. Rokok gue juga masih idup nih," Sabar, sabar. Tarik nafas, buang lewat hidung. Ini masih ujian puasa :) *jangan pernah meniru adegan ini di rumah. Karena merokok membunuhmu, jomblo juga membunuhmu.
"Haha.. Santai cuy, senyum itu ibadah. Apalagi bercanda. Apalagi kalo Ibadan sambil senyum, dapet cashback pahala banyak. Haha.."
"Garing, anjir."
"Ngomong-ngomong, lo gimana kabar ndre? Sibuk apa sekarang?" Andi menyeruput kopinya, dan seperti biasa Andi mengambil korekku untuk menyalakan rokoknya. *jangan pernah meniru adegan ini di rumah. Karena merokok membunuhmu, jomblo membunuhmu, cinta ini membunuhmu.
"Baik bray. Gue sekarang udah mulai sibuk buat menekuni dunia lain, yang presenternya Hari Panca. Lo sendiri gimana?"
"Oh, gue mah selalu baik. Haha.. Kapan sih gue pernah terlihat buruk? Haha.." Katanya sambil tersenyum lebar, hingga tanda dibalik bibirnya terlihat bahwa ia asli keturunan Wakanda.
"Hari ini, lo selalu buruk di mata gue." Sumpah, orang ini tingkat kepercayaan dirinya terlalu luar biasa, hingga menembus batas tembok Maria. Beruntung, disini aku dijamu dengan Tolak Angin, serta disuguhi kopi, rokok, dan kue.
"Ngomong-ngomong, gimana sejarah lo sampai akhirnya menjadi Andi yang sekarang ini? Yang sholat selalu di masjid, berenti minum-minuman keras, berenti main cewek, dan lain-lain,"
"Andi yang sekarang? Emang sebegitunya kah perbedaan gue yang dulu ama yang sekarang? Haha.." Ia menghisap rokoknya, kemudian mengeluarkannya pelan-pelan. *jangan meniru adegan ini di rumah. Karena merokok membunuhmu, jomblo membunuhmu, cinta ini membunuhmu.
"Dulu, lo tau sendiri kan gue suka minuman gituan, bawa-bawa cewek, sholat jarang, pokoknya gue ngerasa kalo diri gue yang dulu itu pembentuk diri gue yang sekarang. Dan dalam proses perubahan menuju diri gue yang sekarang ini, gue ngerasa kaya udah bosen gitu aja menjalani kehidupan di gelap-gelapan. Ga tau juga kalo ntar mari lampu, haha.."
"Lu ngerasanya kalo lu tiba-tiba berubah sendiri jadi kaya gini gitu? Beruntung banger sih elu, menurut orang yang taat beragama, sayangnya gua kaga. Haha.."
"Iya, dan di masa-masa gelap gue waktu itu, gue masih percaya yang namanya Tuhan. Gua yakin, yakin dengan 100% bahwa Tuhan itu maha baik. Dia tidak pernah menciptakan segala sesuatu menjadi sia-sia. Entah lu mau jadi jahat, mau jadi baik, semuanya itu Tuhan yang ngatur. Kaya pas gua masih di dunia kegelapan, gue akhirnya sadar bahwa Tuhan nyuruh gue untuk mempelajari secara langsung tentang perbuatan-perbuatan yang Dia larang dalam firman-firmanNya. Dan pada akhirnya, ketika sekarang ini, gua ngerasa kalo Tuhan sekarang udah mulai nyuruh gua buat berubah jadi pribadi yang dewasa, sesosok Andi dewasa, yang sudah harus belajar untuk bertanggung jawab. Dan gue sendiri pun juga ga tau bakal seperti apa nanti gue di masa depan. Yang jelas, gue tetap berpegang teguh atas keyakinan gua sendiri, tetap yakin kepada Tuhan."
"Jadi, baik, buruk itu emang merupakan alur dari skenario kehidupan yang dirancang oleh Tuhan yah? Terus, kan kalo misalnya kita cuman berpangku tangan terhadap Tuhan tapi usaha ga ngelakuin sama sekali? Sama aja bo'ong dong?"
"Ya emang, bener. Tanpa berusaha untuk mengikuti alur kehidupan semaksimal mungkin, lu sama aja kaya pengemis yang bisanya cuman minta-minta. Kaya misalnya gini, lo lagi ga ada uang, tapi semua anggota badan lo masih lengkap, usaha lo berarti dengan cari kerjaan, bukan ngemis ato malak-malak doang."
"Tunggu dulu, kalo misalnya dibalikin ke cerita lo sendiri, gimana coba? Serius, gua masih gagal paham ini," Iya, waktu itu aku memang tidak mengerti dengan apa yang Andi bicarakan.
"Kan, udah gua bilang kalo gua bosen idup di dunia gelap-gelapan. Gua udah cukup mengetahui seluk beluk mengenai kehidupan yang seperti itu, kapan gua jadi dewasa coba? Iya sih, gua sadar kalo banyan di luar sana orang dewasa yang masih hidup di dunia maksiat seperti itu. Cuman, apakah orang tersebut dapat dikatakan telah dewasa jika dia bahkan tidak memiliki tanggung jawab moril atas dirinya sendiri? Enggak kan?"
"Yap, bener banget. Sepakat ama omongan lo,"
"Oh iya satu lagi," sela Andi.
"Gue pernah kenal seorang filsuf yang namanya Frederick Nietzsche."
"Frederick siapa? Frederick Nissin? Frederick Tszhetshze?" Dan lagi-lagi, aku tidak paham dengan apa yang diucapkan Andi.
"Frederick Nietzsche. Frederick, N, I, E, T, Z, S, C, H, E, Nietzsche. Dia adalah seorang filsuf asal Jerman pada abad ke 19. Dia memberikan suatu pengertian bahwa kehidupan adalah suatu hal yang hanya dapat dilakukan sekali saja dalam seumur hidup, sehingga tiap-tiap orang dituntut agar saling menjadi pribadi yang paling baik dari apa yang mereka bisa lakukan, agar dapat memaknai kehidupan secara indah. Untuk info lebih jelas silahkan baca-baca di Google. Haha..."
"Anjing! Gua kira lo mau jelasin, kampank!"
"Ilmu gue masih belum bisa mengingat secara baik-baik tentang dia, haha.. Cuman, yang gue inget-inget dari dia adalah 2 quotesnya yang paling terkenal, 'Amorfati', dan , 'Tuhan Telah Mati'"
"Lah, lah? Kok lo setuju ae sih ama gagasan 'Tuhan Telah Mati' itu? Padahal daritadi aja lo nyebut-nyebut Tuhan terus?" Ini adalah kesekian kalinya aku bingung terhadap apa yang dikatakan oleh Andi. Yah, maksudnya, kurang mengerti mengenai istilah-istilah yang dia pakai untuk berbicara kepadaku, agar ku tak gagap, dan mulai jadi bingung. Bila nanti saatnya t'lah tiba, kuingin kau tidak meneruskan lagu Akad ini.
"Dari Amorfati dulu, ndre." Andi menghela nafas,
"Amorfati itu artinya, cintailah hidupmu seperti apa yang terjadi dalam kenyataan. Cinta kan bukan cuman berarti menerima apa adanya, tanpa tau kejelasan hubungannya seperti apa. Tapi cinta adalah suatu perasaan bertanggung jawab. Begitu pula dengan kehidupan kita ini. Jangan hanya asal menerima begitu saja keadaan kita, tanpa tau arah dan tujuan, tapi juga bertanggung jawab dan berkomitmen ke kehidupan kita sendiri."
"Ngomong-ngomong lu malah kaya nyindir hubungan gue ama doi deh. Udah lah, gue balik dahh.."
"Oy, jangan baper dong, haha.. Terus kalo yang 'Tuhan Telah Mati' itu, maksudnya si Nietzsche itu nyindir orang-orang disekitarnya. Pada waktu itu, orang-orang dalam lingkungan kehidupan Nietzsche sangat-sangat taat beragama. Rajin ke gereja, rajin ikut misa, dan lain-lain. Namun, oleh karena ketaatannya itu lah, mereka akhirnya dipermainkan oleh agama mereka sendiri. Makanya waktu itu banyak kaum agamawan dan gereja sangat dihormati oleh pihak pemerintah, sampai pemerintah memberikan hak-hak khusus terhadap mereka. Nah, karena pemerintah terlalu fokus ngurusin kaum agamawan itulah, rakyat jelata jadi makin kismin. Makin susah idupnya." Andi sangat antusias menceritakan hal ini, beruntung ISIS belum pernah membom asrama ini.
"Terus kaitannya ama 'Tuhan telah mati' itu apa njer?"
"Ya balik lagi. Mereka akhirnya hanya fokus terhadap agama dan para pemimpin keagamaan mereka, bukan kepada Tuhan. Nah, maka dari itulah Nietzsche bilangnya 'Tuhan telah mati.'"
"Ndi, ngomong-ngomong, lu ada tamu nih ndi. Gue balik dulu yah," aku berdiri, bersiap untuk kembali ke kamar. Karena aku tau, tamu Andi adalah sekelompok orang-orang dari FPI.
"Woy njer, napa lo ga bilang kalo ada FPI dimari. Lo malah balik lagi, kampret."
"Gua ada urusan ndi, mending lu nyambut tamu-tamu lu aja, haha..." Aku langsung cabut ke kamarku, di lantai atas.
Dan begitulah hasil wawancaraku dengan si curut Andi dari Jakarta. Pada awal aku mengenalnya, kukira dia orang yang 'Urakan', anak nakal, penjahat, penculik, begal, dan sebagainya. Namun kini akhirnya aku tahu, bahwa pemikirannya sedalam apa yang dia ceritakan kepadaku tadi. Ternyata memang benar, gelap dan terang, tinggi dan rendah, semuanya berjalan bersama, menyanyi dan tertawa untuk membangun dunia yang katanya indah ini.
Terkadang aku berpikir, apa itu agama? Siapa Tuhan sebenarnya? Aku hidup sendirian atau bagaimana? Yang jelas satu hal yang aku perlu ketahui adalah selalu menjalani tiap-tiap alur kehidupan ini dengan sebaik mungkin, agar kelak ketika kita telah tiada nanti, kita dapat meninggalkan suatu peninggalan yang amat berharga bagi kehidupan generasi kita yang selanjutnya.
"Hanya orang-orang yang menemukan air telagaNya lah yang dapat menikmati hasilnya & membagikannya kepada yang lain.." ~ Anonim
Pasuruan, 17 Juni 2018

Komentar
Posting Komentar