***
Saat itu, Februari 1998. Aku sedang merayakan ulang tahunku ke-19. Ulang tahun yang terasa hambar, tanpa ada lempar-lemparan telur atau tepung dari teman-temanku, tanpa kue dan lilin yang biasa kurayakan bersama keluargaku. Hanya ada ketakutan mencekam, krisis ekonomi.
Kemudian, waktu berganti waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan. Disaat itu, rupiah sedang anjlok di atas Rp. 10.000/dollar. Disaat itu, jatah minyak tanah sangat terbatas, menimbulkan antrean yang panjang di kios-kios, begitu juga dengan BBM yang antreannya menyebabkan kemacetan lalu lintas. Di saat itu, stok makanan terbatas, membuat harganya melonjak tinggi bak pesawat ulang alik yang lepas landas, hingga akhirnya keluargaku kembali kepada zaman penjajahan, hanya makan ubi dan singkong. Di saat itu, keseharian kami hanyalah menanti kecemasan yang tak kunjung usai ini, dimana banyak pasukan ABRI yang men-sweeping masyarakat, yang dianggapnya penyebab huru-hara. Padahal pemerintah sendiri tidaklah tau bagaimana rasanya hidup dalam kondisi harap-harap cemas seperti itu.
"Rendi, anda bisa dengarkan saya. Saya terganggu dengan lamunan anda," pak Aji berkata setengah membentak kepadaku, aku hanya tetap termangu dalam diam, karena memang aku tidak sarapan dari tadi pagi hingga sekarang jam dinding putih di atas papan tulis kelas menunjukkan pukul 15.35.
"Mm, Maaf pak. Saya sedang memikirkan konsep-konsep yang bapak berikan barusan pak."
"Baiklah jika memang anda demikian. Jadi, bisakah anda jelaskan sejarah berjalannya revolusi Perancis?" Beruntung, kali ini adalah mata kuliah sejarah, kemungkinan aku masih bisa menjawabnya walaupun masih setengah asal-asalan.
"Jadi, begini pak." Aku mengambil tempat untuk berdiri, dan menyiapkan mental agar aku tidak grogi di kelas. "Revolusi Perancis ialah gerakan rakyat Perancis dari tahun 1789 hingga 1799. Rakyat menghendaki agar Raja Louis XVI yang berkuasa secara absolut untuk turun tahta. Rakyat menilai bahwa Raja Louis XVI adalah simbol dari keterbelakangan rakyat, khususnya kalangan rakyat bawah." Aku menghela nafas sebentar. "Rakyat sudah terlalu jengah terhadap kekuasaan absolut Raja Louis XVI yang terlalu memewahkan dirinya sendiri, para agamawan, dan para bangsawan yang menjadi kolaboratornya. Sedangkan rakyat, khususnya rakyat kelas bawah, mereka sama halnya seperti budak bagi sang raja. Rakyat tidak diperbolehkan menjadi tuan atas diri mereka sendiri. Mereka hidup dalam kemiskinan yang parah, yang hanya dapat ditebus ketika mereka naik kelas menjadi agamawan atau bangsawan yang sebenarnya hal itu tidak dapat dilakukan. Makanan sehari-hari mereka hanyalah ketakutan. Ketakutan dari tindak represif sang raja yang akan memenjarakan rakyatnya sewaktu-waktu walau hanya karena tindakan kejahatan yang remeh. Bahkan, pencuri sekeping roti saja dipenjara selama lima tahun. Entah bagaimana nasib mereka ketika ia mengkritik sang raja. Apakah mereka nanti menghilang ataukah nanti ditembak mati oleh tentara, oleh Petrus." Aku menyudahi orasi kecilku, dan kembali duduk karena aku masih grogi untuk berbicara di depan umum. Jawabanku disambut oleh riuh tepuk tangan dan teriakan "Reformasi!".
"Jaga bicara anda ya, saudara Rendi! Anda bisa-bisa dikenakan pasal penghinaan presiden oleh ABRI!" Kini ia benar-benar membentakku sambil mengacung-acungkan tangannya ke arahku. Namun, aku tahu bahwa ia tidak akan setega itu untuk memenjarakanku.
"Laporkan saja pak. Saya memang ingin mati! Saya capek hidup, pak!" jawabku lebih menantang. Pak Aji hanya tersenyum kecil sambil menggeleng, tanda ia tidak akan benar-benar memenjarakanku. Lagi-lagi teriakan "Reformasi!" terdengar dari belakang, kali ini lebih keras. Aku hari ini memang sengaja duduk di depan, karena aku memang sedang badmood.
***
Kemarin, aku memang di tolak oleh cewek yang aku cintai. Tidak hanya sekedar boneka dan oleh-oleh yang aku berikan kemarin yang sanggup aku berikan. Bahkan mas kawin pun aku siap memberikan. Namun tahu apa yang ia lakukan untuk menolakku? Pertama, ia mengatakan "Aku nggak bisa, ren. Mungkin kita tetep temenan aja." Dan ketika aku benar-benar ingin menjadi temannya, ia malah jadian dengan cowok lain, yang memang terkenal playboy. Dan semenjak saat itulah, aku mendiagnosa teman-temanku sendiri terkena penyakit philophobia, penyakit ketakutan atas cinta dan kasih sayang.
Hari ini, kondisi mood-ku sedang kacau balau. Entah karena memang sedari pagi aku menahan lapar. Entah karena aku yang dipermainkan oleh cewek yang aku suka. Entah aku agak setengah merinding apakah aku akan benar-benar dilaporkan oleh pak Aji atau tidak.
"Aku pulang, Assalamu'alaikum." Tanpa memedulikan apakah salamku dijawab atau tidak, aku langsung menuju kamarku. Aku tau, di meja makan tidak akan ada makanan atau sejenisnya. Dan kebetulan juga aku jadi tidak bernafsu makan.
Aku mencoba membuka-buka lemari yang kusebut sebagai 'Perpustakaan Pribadi'-ku ini. Aku mencoba membuka buku-buku dengan bacaan yang berat. Disana terlihat beberapa buku-buku berat-ku, seperti 3 jilid buku Dibawah Bendera Revolusi, karangan mantan presiden Soekarno, yang kuperoleh dari pasar gelap. Kemudian, ada buku milik Andra, temanku anak SMID, berjudul Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara, karangan Louis Althusser, yang sama-sama menjadi buku haram. Ketika aku memilah-memilah semua buku yang terletak disitu, aku mencoba mengambil novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Namun karena bahasanya yang terlalu berat. Aku malah tidak jadi untuk membaca buku. Aku berbaring di kasur selama beberapa menit, melamun.
Aku membayangkan, bagaimana jika akhirnya aku ikut bersama teman-temanku untuk demonstrasi di jalan besok. Namun apa yang akan ku peroleh nantinya? Apakah sebuah kelelahan karena tuntutan kita tidak akan dipenuhi? Apakah hanya sebuah tembakan membabi buta yang dilayangkan oleh para keparat ABRI itu? Apakah sebuah reformasi? Lalu, setelah reformasi sendiri terjadi, apa nanti yang akan kita lakukan? Apakah hanya menurunkan presiden kampret itu? Namun ujung-ujungnya sistem yang telah berjalan masih tetap saja seperti sistem yang sekarang?
Aku mencoba untuk tidur, tapi masih tidak bisa. Kucoba untuk menutup tubuhku dengan selimut, namun aku masih tetap terjaga. Aku bingung harus melakukan apa.
"Ma, aku keluar. Assalamu'alaikum."
"Waalaikum salam. Baru dateng langsung keluar kamu, ren," ibuku yang akhirnya datang dari membeli bahan belanjaan, mencoba mencegahku. Agar aku makan maksudnya. Hari itu, bahan makanan yang ibuku dapatkan hanyalah seikat bayam, 2 bonggol jagung, beberapa butir kentang sebagai pengganti nasi, dan entah apa lagi. Kami makan untuk kami berempat. Untuk ayahku, ibuku, adik perempuanku, Rena, dan aku.
***
Aku keluar, untuk sekedar mencari udara segar. Dan entah kenapa mood-ku masih memburuk ketika aku bertemu temanku, Dani. Dia adalah ketua komisariat HMI di kampusku.
"Oy, ren. Ngapain lu bengong aja?" Dani menghampiriku. Dia membawa beberapa barang seperti cat, dan kuas. Mungkin untuk demo besok.
"Nggak apa-apa dan. Mood gua lagi kacau."
"Ya udah sini, ikut gua aja ke anak-anak. Kita bersama besok bakal jadi teroris besok. Hehehe."
Entah Dani yang emang ga mau tau ama perasaanku atau memang dia yang terlalu bersemangat, hingga akhirnya mengajakku untuk ikutan aksi besok.
"Udahlah dan, lu ga tau apa gua kenapa-napa?"
"Emang lu kenapa, ren?"
"Tau ah, pikir urusan lu sendiri. Baru rakyat."Dani hanya tersenyum kecil, dan entah karena alasan apa sehingga dia akhirnya membawaku untuk ke kampus, markas perjuangan.
"Ahh.. Ngapain sih lu masih tetep bawa gua kesini, dan?"
"Katanya lu lagi badmood, ya udah sini main ke anak-anak. Sekalian besok kita gila-gilaan di depan para anjing pemerintah itu. Dan mungkin nanti malem kita pesta kecil-kecilan dulu. Minum-minum coy,"
"Anjing lu, dan."
***
Aku melihat beberapa anak yang sibuk kesana kemari. Ada yang sibuk menulis di spanduk. Ada yang mengecek toa. Ada yang menggelar kain putih raksasa, mungkin untuk spanduk.
"Wahh.. Ada Rendi nih. Gimana kabar, ren?"
"Badmood gua. Capek."
"Ya udah, gabung aja ama kita-kita, ren. Tar malem kita party kecil-kecilan kok. Nah, besoknya kita party besar-besaran." Dia tertawa histeris, mungkin membayangkan bagaimana ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa menyerbu istana negara, atau menduduki gedung MPR. Namanya Fuko, satu kelas ama gua, mungkin salah satu anak yang teriak-teriak "Reformasi!" di kelas.
"Emang apa sih gunanya gua gabung?"
"Lah, malah nanya." Dia kembali tertawa. "Kan lu sendiri tadi yang bilang, pas mata kuliahnya Pak Aji sejarah."
"Bilang apa gua?"
"Lah kampret. Kan elu yang bilang pas elu lagi orasi tentang revolusi Perancis."
"Iya, terus?"
"Jadi apa yang kita perjuangkan besok sama aja kaya revolusi Perancis yang elu bilang tadi sore. Lu liat kan, bagaimana itu si presiden sialan kita, si Soeharto sama sekali tidak memikirkan rakyat? Lu liat kan, bagaimana sistem busuk pemerintahannya yang menjadikan kita semua sebagai budak?" Fuko mulai tampak serius. Raut wajahnya seperti akan menandakan bahwa besok dia juga akan berorasi.
"Iya, gua tau. Tapi kan di akhir apa yang elu bilang orasi gua itu tadi kan bilang 'Entah bagaimana nasib mereka ketika ia mengkritik sang raja. Apakah mereka nanti menghilang ataukah nanti ditembak mati oleh tentara, oleh Petrus.'" Aku yang sedari tadi memang berpikiran jenuh mulai emosi.
"Masih takut ama petrus? Masih takut nggak di denger?" Dia lagi-lagi tertawa. Ingin rasanya kutinju rahangnya atau kutendang perutnya. Atau mungkin keduanya. "Makanya ini, kita demo rame-rame, ren. Karena kalo rame-rame, jangankan Petrus, bahkan si Soeharto aja juga takut, ren. Dan itu bukan cuman di tempat kita doang, ren. Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Medan, Makassar, dan seluruh Indonesia mencoba untuk menurunkan si presiden sialan itu. Presiden tiran itu."
"Terus, gua harus gimana, ko? Apa gua harus teriak-teriak ga jelas gitu? Ato gua harus jadi tameng dari peluru ABRI?"
"Terserah, ren. Lu sendiri yang nentuin pilihan lu. Yang jelas malam ini dan besok kita bakal ngadain party. Malam ini kita minum-minum, besok kita bakar-bakar."
***
Langit sudah mulai gelap. Bulan sudah menampakkan rupanya di langit. Sweeping jam malam oleh ABRI mungkin sedang tidak seramai kemarin, malam ini senggang dari para aparat-keparat itu. Aku menerima gelas arak dari temanku.
Malam ini dan besok aku akan berpesta.

jangan lupa berkunjung ke blog saya ya dihttp://tommysmansatya.blogspot.co.id/
BalasHapus