Kartini Berdarah: Gerwani dan Marsinah



Sejumlah mahasiswa melakukan demonstrasi menolak perppu ormas

Akhir-akhir ini, banyak masyarakat Indonesia mempersoalkan Perpu No. 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU No. 17 tahun 2013 mengenai Organisasi Kemasyarakatan atau yang biasa disebut sebagai "Perpu Ormas". Masyarakat yang kontra dengan Peraturan Pengganti Undang-undang tersebut beralasan bahwa dengan adanya "Perpu Ormas" ini, dinilai dapat mengkerdilkan tentang kebebasan berorganisasi yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi:

       "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".

Hal ini mengingatkan penulis dengan sejarah kelam bangsa ini yang terjadi pada masa orde baru (1965 - 1998) yakni tindakan pembersihan  pemerintah terhadap pergerakan-pergerakan organisasi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pergerakan wanita. Sebagai contoh ialah pembunuhan dan penahanan tanpa pengadilan terhadap organisasi "Gerakan Wanita Indonesia" (Gerwani) karena dianggap turut bertanggung jawab atas pembunuhan 7 jenderal di Lubang Buaya bersama-sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena selain penahanan tanpa pengadilan, organisasi ini dicap sebagai organisasi pengkhianat negara bersama-sama PKI yang pada akhirnya membuat keturunan dari kader maupun simpatisan Gerwani tidak diperbolehkan untuk bersekolah.

Kemudian, selain Gerwani, pada tahun 1993 ada pula organisasi buruh di Sidoarjo yang menuntut tentang perbaikan upah terhadap PT. Catur Putera Surya (CPS) yang menaikkan nama seorang aktivis perempuan, Marsinah. Dalam pergerakannya, ia mengajak para buruh di PT. CPS untuk bersama-sama mogok kerja dan berunjuk rasa menuntut agar PT. CPS memberikan upah yang layak, karena biaya hidup yang semakin mahal. Marsinah ditemukan tewas pada tanggal 8 Mei 1993, di dusun Jegong, kecamatan Wilangan, kabupaten Nganjuk. Namun, berdasarkan persidangan pada tahun 1995, Mahkamah Agung membatalkan semua pengadilan dibawahnya mengenai kasus pembunuhan Marsinah dan membebaskan semua terdakwa pembunuh Marsinah.


Sebuah rapat besar organisasi Gerwani

1. Gerwani sebagai organisasi yang dianggap bawahan PKI

Gerwani adalah organisasi yang didirikan di Semarang  pada 4 Juni 1950 dengan nama "Gerakan Wanita Sedar" (Gerwis), dan berganti nama pada tahun 1964 menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Dalam buku berjudul "Pergerakan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional" (1992: 5) dituliskan:

       "Perubahan dan perbaikan tidak dapat hanya menyangkut kaum pria saja tanpa perbaikan kaum perempuannya."

Dibentuknya Gerwani bertujuan agar para perempuan menjadi lebih mandir dan terlepas dari bayang-bayang kesewenang-wenangan sang suami. Gerwani adalah suatu organisasi masyarakat yang bersifat netral dalam urusan politik, namun atas instruksi pemerintah pada tahun 1965 tentang penyelarasan organisasi masyarakat dengan partai politik, maka Gerwani pun memilih berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebenarnya pada pemilu 1955, banyak simpatisan dan anggota Gerwani yang memilih PKI, namun pada waktu itu Gerwani masih bersikap netral dalam urusan politik. Dan hal inilah yang melatar belakangi berbagai pembunuhan dan kesewenang-wenangan pemerintahan Orde Baru terhadap organisasi Gerwani.

Pemerintah Orde Baru menganggap bahwa dalang dibalik pembunuhan 7 jenderal AD di Lubang Buaya adalah PKI beserta anteknya. PKI kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang, dan akhirnya atas dasar "Surat Perintah Sebelas Maret" (Supersemar), Soeharto pelaksana Supersemar mulai melakukan stabilisasi atas huru-hara yang terjadi di Indonesia. Dan salah satunya ialah pembunuhan dan penahanan besar-besaran terhadap para simpatisan maupun anggota PKI beserta anteknya. Gerwani yang dianggap dekat dengan PKI, juga turut mengalami hal yang serupa. Para simpatisan maupun para anggota Gerwani banyak yang dibunuh, ditangkap, diperkosa, dan tidak diperlakukan secara manusiawi oleh rezim Orde Baru yang menganggap bahwa baik PKI maupun Gerwani sama-sama merupakan organisasi terlarang yang akan melakukan pengkhianatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian, untuk beberapa orang yang dijadikan sebagai tahanan politik (tapol), sekembalinya mereka dari penahanan, mereka dikucilkan dari masyarakat. Dan di KTP mereka, dilabeli dengan tanda ET (eks tapol) yang akhirnya berdampak pada kehidupan mereka masing-masing, seperti dilarang keluar kota maupun anak keturunan mereka yang dipersulit untuk bersekolah.


Marsinah

2. Marsinah dan sepak terjangnya

Pada dekade 1990-an, kondisi perekonomian di Indonesia mulai tidak stabil. Hal itu membuat banyak harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Itulah alasan yang mendasari Marsinah dkk yang menuntut perbaikan upah atas PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) yang dianggap tidak cukup. Maka dari itu, pada 3-4 Mei 1993, terjadi pemogokan buruh PT. CPS menuntut kenaikan gaji perusahaan yang tidak sesuai dengan SK Mentaker no. 50/1992 yang seharusnya sudah dilaksanakan mulai Maret 1993. 

PT. CPS tidak tinggal diam. Melalui satpamnya, mereka mencoba mencari tahu siapa saja buruh yang tidak masuk kerja pada hari-hari itu. Pada 4 Mei, para buruh yang mogok merangsek masuk ke halaman PT. CPS untuk mengajak teman-temannya bergabung dalam barisan mereka. Marsinah termasuk salah satu buruh yang paling vokal dalam menyuarakan tuntutannya. Mereka menuntut agar PT. CPS mengabulkan ke 12 tuntutan mereka, yang salah satunya ialah penyesuaian gaji perusahaan dengan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Kemudian, setalah diadakan forum perundingan, PT. CPS yang diwakili oleh Judi Artono menolak tuntutan buruh dan berakhir pada penahanan 13 orang buruh di Kodim setempat. Semakin memperburuk keadaan, PT. CPS malah memecat ke-13 orang buruh tersebut, yang kemudian disusul dengan menghilangnya Marsinah selama 3 hari.

Marsinah ditemukan tewas di sebuah hutan yang berlokasi di dusun Jegong, kecamatan Wilangan, kabupaten Ngajuk dengan sejumlah bekas penganiayaan dan pemerkosaan pada tubuhnya. Pada 30 September 1993, tim terpadu yang dipimpin oleh Kadit Serse Polda Jatim Kolonel Pol. Drs Engkesman R. Hillep memulai investigasi terhadap kasus pembunuhan Marsinah. Kemudian pada 1 Oktober 1993, Yudi Susanto dan 8 orang karyawannya ditangkap. Kemudian, jumlah terdakwa yang paling dianggap membunuh dan memperkosa Marsinah menjadi 3 orang (walaupun kedelapan orang tersebut masih dituntut di pengadilan).

Karena proses pengadilan yang dinilai oleh Jaksa Penuntut Umum kurang adil, maka persidangan dilanjutkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung memvonis bebas kesemua terdakwa. Mahkamah Agung menilai bahwa keterangan saksi dalam memberikan keterangan selalu berganti-ganti, sehingga Mahkamah Agung menganggap bahwa kasus ditutup.

Seorang demonstran pada peringatan hari kematian Marsinah

Gerwani dan Marsinah hanyalah segelintir contoh orang-orang yang berani bersuara melawan penindasan. Gerwani dan Marsinah merupakan contoh dari Kartini-kartini baru yang nasibnya tragis, yang akhirnya menjadi korban kekejaman bangsa ini, khususnya rezim diktator Orde Baru.

Kematian Marsinah, selalu dikenang dalam hati orang-orang yang peduli terhadap kemanusiaan. Hal tersebut terbukti oleh peringatan kematian Marsinah yang diadakan setiap tahun oleh para buruh, mahasiswa, dan aktivis kemanusiaan lain. Dalam hal ini, perjuangan Gerwani dan Marsinah ini dapat dijadikan pelajaran oleh pemerintah agar tak lagi berbuat keji, melawan batas-batas kemanusiaan, seperti yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Semoga Tuhan menerima mereka di sisi-Nya.

Saya berharap agar artikel ini memberikan pelajaran kepada kita semua mengenai pergerakan-pergerakan perempuan yang pernah ada di Indonesia yang kemudian pada keesokan harinya menjadi legenda. Hendaknya, kita mengambil sisi positif yang dapat kita ambil dari Gerwani dan Marsinah. Sebagai contoh, ketika kita melihat orang lain kesusahan, maka hendaknya kita membantu orang tersebut agar tak lagi bersusah hati.

Dan untuk kaum pria, hendaknya pria tidak lagi menjadikan wanita sebagai mahluk yang lemah, yang mudah kita permainkan. Namun justru, kita benar-benar menjadi pria yang terhormat tatkala kita sendiri menghormati wanita. Untuk kaum wanita, jangan sampai akhirnya menyerah secara kodrati dan memilih untuk bekerja pada wilayah domestik dikarenakan tuntutan budaya masyarakat. Manusia tetaplah manusia baik pria maupun wanita. Tidak ada batasan apapun yang tidak dapat dilewati oleh manusia kecuali hal itu akan mengganggu lingkungan sekelilingnya. Semoga artikel ini dapat memberi pencerahan kepada kita semua mengenai kebebasan bersuara dan kesetaraan gender. 

Komentar